Arus globalisasi yang melanda dunia telah menyeret
seluruh negara didunia untuk bersaing dalam segala hal. Globalisasi itu sendiri
sepertinya diprakarsai oleh negara-negara maju dan didesain memang untuk
menguntungkan negara-negara maju saja, dengan antitesis meruginya negara-negara
berkembang yang tidak mampu bersaing. Dengan adanya globalisasi, terdapat “hidden
agenda” yang dikomandoi oleh negara-negara maju, sehingga mereka beramai-ramai
menanamkan modalnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Globalisai
tidak hanya membawa persaingan ekonomi tetapi juga memabawa ideologi
kolonialisme, kapitalisme, hedonisme dan individualisme.
Dalam
masalah perbudakan buruh yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing yang berasal
dari amerika dan sekutunya semisal Nike, Adidas dan GAP dll, terjadi
eksploitasi buruh. Dari segi upah terjadi ketidakseimbangan antara beban
kerjanya dengan upah yang yang diberikan. Para buruh rata-rata bekerja hampir
16-36 jam sehari, dengan upah yang sangat murah, padahal barang yang mereka
buat adalah barang-barang yang mahal. Bayangkan saja sepatu yang bermerek Nike,
rata-rata dijual dengan harga diatas satu juta tetapi para buruh hanya
mendapatkan upah 5 ribu rupiah saja, dan 9000 rupiah untuk produk Reebok, Adidas, Old Navy dan GAP , angka
yang sangat jauh dari harga barang tersebut. Padahal para buruh tersebut
rata-rata adalah orang miskin, disertai dengan banyaknya penganguran sehingga
mereka mau bekerja apa saja dan berapapun upahnya, kenyataannya gaji yang
mereka terima tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan sangat kurang.
Disisi
lain standarisasi kerja yang ditetapkan tidak dijalankan. Dalam suatu wawancara
yang dilakukan oleh John Pilger disebutkan bahwa jika ada orang dari Perusahaan
induk yang akan masuk untuk mewawancarai para buruh, maka kata-kata yang akan
dikeluarkan sudah dibuat oleh orang dalam perusahaan yang berkuasa. Intinya
perlindungan terhadap hak-hak buruh yang ditetapkan oleh Pemerintah Dunia
seperti diabaikan dan sama sekali tidak diberlakukan. Para buruh dianggap
sebagai sebuah mesin yang harus bekerja untuk memenuhi kuota barang yang terkadang
tidak mereka tahu alasan mereka kerja lembur dan dengan upah yang sama. Bahkan
perusahaan membuat semacam kode etik yang berkedok untuk menjamin standar yang
tinggi dan melindungi para buruh padahal kode etik itu hanyalah hiasan belaka
dan hampir tidak diperhatikan.
Untuk kasus utang
luar negeri, John Filger memaparkan bagaimana utang luar
negeri telah menjerat Indonesia menjadi negara penghutang yang mulai runtuhnya
orde lama yang dipimpin oleh Soekarno dan mulianya rezim Soeharto. Sejak
naiknya Soeharto sebagai Presiden, maka berdatanganlah para investor yang pada
masa Soekarno tidak diberikan untuk masuk, bahkan kita mengenal kata-katanya
sampai sekarang yakni “GO TO HELL WITH YOUR AID”. Sejak itu, Indonesia dikepung
oleh kekuatan Barat yang terorganisasi dengan sangat rapi. Instrumen utamanya
adalah pemberian utang terus-menerus sehingga utang luar negeri semakin lama
semakin besar. Dengan sendirinya, beban pembayaran cicilan hutang pokok dan
bunganya semakin lama semakin berat. Dengan berkedok kemajuan dan kemakmuran
rakyat Soeharto memberikan ijin seluas-luasnya kepada para investor untuk
menenamkan modalnya. Selain itu, bantuan keuangan yang diberikan oleh IMF yang
merupakan dana perhutangan yang diberikan kepada Indonesia. Dengan masuknya
IMF, maka selanjutnya perekomian Indonesia dibentuk menurut model Amerika guna
mempermudah barat untuk menguasai sumber-sumber mineral, pasar dan buruh murah.
Dan orang-orang barat pun menyebutnya sebagai “Upeti Terbesar dari Asia”.
Kenyaataannya untuk membanguan suatu gedung-gedung yang tinggi, Mall yang besar
dan tempat-tempat yang mewah harus mengorbankan banyak nyawa bangsa Indonesia
itu sendiri. Para penguasa barat menyebutnya dengan “Tembakan Kecil Untuk
Perubahan”.
Untuk hal itu, Pilgers mencoba untuk melakukan wawancara langsung
dengan para petinggi IMF dan World Bank (WB). John Pilger mempertanyakan alasan
lembaga keuangan tersebut tetap memberikan pinjaman kepada rezim Soeharto yang
jelas-jelas korup dan dengan mekanisme yang tidak transparan. Yang jelas dari
kebijakan tersebut, World Bank dan negara-negara kreditor mengambil keuntungan
yang besar dari mekanisme yang tidak transparan dan cacat hukum tersebut
melalui proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaan multinasional dari
negara-negara asal masing-maisng. Jadi, meskipun World Bank dan negara kreditor
memberi pinjaman 100%, namun sebenarnya sebagian besar uang tersebut digunakan
untuk membuka lapangan pekerja negara kreditor dan hanya sekitar separuh uang
pinjaman tersebut benar-benar masuk ke negara miskin tersebut.
Pada pembukaan film
dokumenter tersebut, John Pilgers menyajikan sebuah lagu mengenai globalisasi.
Maka itulah makna globalisasi yang sesungguhnya
Itulah fakta yang terjadi
di Indonesia. Dan pada awal tahun 2000-an, terjadi gerakan jutaan manusia
menentang globalisasi di berbagai penjuru dunia. Globalisasi yang
didengung-dengungkan oleh Amerika dan negara kapitalis liberal bahwa akan
membawa kemakmuran bagi umat manusia ternyata mengakibatkan jurang pemisah yang
begitu besar antara si kaya dan si miskin.
Fakta-fakta tersembunyi globalisasi :
·
Sekitar 10% penduduk dunia menikmati
dan memiliki 90% kekayaan dunia, sedangkan sisa 90% penduduk dunia harus
merebut 10% uang untuk menghidupi keluarganya.
·
Total kekayaan sekelompok kecil
orang yang berkuasa ternyata lebih besar dari total kekayaan seluruh penduduk
benua Afrika.
·
Seperempat
(1/4) kegiatan ekonomi dunia dapat dikuasai hanya dengan 200 perusahaan
Corporasi Negara Adikuasa.
Maka dari
beberapa penggalan kisah yang memilukan diatas, yang diprakarsai oleh putra
bangsa indonesia itu sendiri, kita dapat mangambil kesimpulan bahwa kemiskinan
sudah menurun, kelaparan sudah menurun, pengangguran sudah menurun, orang sakit
sudah menurun, kriminalitas sudah menurun, individualisme sudah menurun,
hedonisme sudah menurun, kapitalisme sudah menurun, dan hutang pada negara
asing sudah menurun. Ya, memang sudah menurun. Yakni menurun pada anak cucu
kita.